Kamis, 27 September 2007

SOROT

KECERDASAN TIDAK BEREMPATI


Achmad Subechi
KAUM papa (wong cilik) semakin terdesak! Sebaliknya, pemerintah DKI Jaya siapkan jurus baru untuk mencekik mereka. Ke depan Jakarta tak akan ada lagi para peminta-minta dan pedagang asongan. Ibu Kota diharapkan bersih dari gembel-gembel jalanan. Sebuah solusi atau malah menjadi bom waktu?

SEBUAH niat atau keinginan dari sang penguasa yang dikemas melalui Raperda Ketertiban Umum. Raperda itu beberapa waktu lalu disahkan DPRD DKI Jakarta. Salah satu isinya, setiap orang atau badan dilarang membeli (barang dagangan) ke pedagang asongan, termasuk memberikan barang kepada pengemis, pengamen, bahkan ke pengelap mobil. Jika peraturan tersebut dilanggar, maka akan ada ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lambat 60 hari atau denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta.

Senin (24/9), 200 pengamen, pengemis, waria, pedagang asongan dan joki 3 in 1 menyerbu Gedung Depdagri. Mereka meminta Depdagri mengkaji ulang Raperda tersebut. Aksi ratusan orang ini dikomandoni Urban Poor Consortium (UPC).

Fakta berbicara. Angka kemiskinan di Indonesia belum tertangani dengan sempurna. Presiden SBY melalui pidato dan nota keuangan di DPR 16 Agustus 2006 lalu mengatakan, angka kemiskinian menurun dari 23,4 persen pada 1999 menjadi hanya 16 persen pada awal 2005. Statement SBY akhirnya menjadi blunder. Sang presiden dituduh telah melakukan kebohongan publik karena angka tersebut tidak valid.

Sehari setelah itu sejumlah ekonom memperkirakan angka kemiskinan justru melonjak dari 16 persen (Februari 2005) menjadi 18,7 persen pada Juli 2005. Dua PR besar (mengatasi kemiskinan dan pengangguran) itu tak mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Apalagi Pemilu 2009 sudah ada di depan mata dan para pemimpin dalam waktu dua tahun ke depan lebih fokus kepada pesta demokrasi yang ujung-ujungnya mencari kursi kekuasaan.

Gebrakan Pemda DKI kali ini merupakan sebuah langkah 'cerdas', namun cenderung menghilangkan nilai-nilai empati dan bahkan menafikan hak-hak hidup manusia secara universal. Kita hidup di planet bumi dan berhak untuk mencari makan, mendapakan tempat berteduh dan berkembang biak sesuai kodratnya.

Bukankah embel-gembel itu lahir karena ketidakbecusan pemerintah dalam mendidik anak-anak di negeri ini? Gembel tidak akan ada kalau penguasa di negeri ini mampu mengangkat harkat dan martabat mereka. Gembel tidak akan ada kalau para pemimpin di negeri ini memiliki empati dan simpati serta ikut merasakan penderitaan mereka.

Gembel mencari nafkah demi perut mereka, perut orang tuanya, perut sanak familinya dan perut-perut yang harus terisi nasi. Tidak adakah langkah yang lebih cerdas untuk menyelamatkan dan mengarahkan mereka? Kenapa 'roh' atau semangat menindas itu harus ada disaat rakyat hendak menghadapi Lebaran?
Memang berbagai macam persoalan bangsa ini amat kompleks. Fenomena gembel bukan kali ini saja terjadi. Sejak dulu bangsa dan pemimpin di republik ini mengetahui dan memahami bahwa ada anak-anak bangsa yang hidupnya dibawah garis kemiskinan, tapi penguasa tak mampu berbuat untuk mengarahkan mereka ke jalan yang benar akibat tak adanya political will. Ke depan saya justru khawatir, pintu kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar yang kemudian mengarah kepada gejolak sosial. (*)
Testing